Kala itu, hampir seluruh umat manusia dalam suasana mencekam dan menyedihkan akibat pandemi Covid-19. Di tengah adaptasi kenormalan baru yang dipaksakan itu, aku banyak merenung. Barangkali musibah macam pandemi ini bukan yang terakhir terjadi. Ada kemungkinan akan berulang seperti yang ditunjukkan sejarah. Sudah terlalu banyak masalah di dunia ini untuk dicaci maki. Terpikir untuk turut mengambil bagian dari solusi. Apa sih yang bisa aku lakukan sebagai individu, seorang perempuan, dan anak kuliahan?
Satu per satu muncul dalam ingatan, soal hal-hal yang bisa aku benahi. Salah satunya dekat dengan kodratku sebagai perempuan yang bisa menstruasi. Aku sudah menstruasi sejak kelas 7 SMP. Aku menjalaninya seperti kebanyakan orang: membeli pembalut konvensional dan membuangnya usai sekali dipakai. Tidak banyak yang dipikirkan saat itu. Hanya mengikuti bagaimana lingkungan mengajariku. Namun, ada saat di mana aku mulai mempertanyakannya.
Pertama, aku disuruh memisahkan sampah pembalut dengan sampah lainnya yang berada di tong sampah. Kemudian, sampah pembalut itu harus dibawa ke pinggir kali. Alasannya, darah menstruasi itu adalah sesuatu yang kotor. Aku jadi curiga adanya sesat pikir. Bukannya sampah yang tercampur dalam tong juga sama kotornya? Ketabuan soal menstruasi memang masih menjalar dalam masyarakat. Bahkan, di daerah lain aku dengar sampai harus diisolasi sementara waktu dari kelompok masyarakatnya, hanya karena sedang menstruasi. Akan tetapi, aku belum punya keberanian untuk menggugat hal semacam ini. Bahkan alternatif selain buang di pinggir kali saja belum ada.
Kedua, aku mulai tercerahkan sejak duduk di bangku perkuliahan. Aku diperkenalkan macam-macam masalah lingkungan lewat mata kuliah ‘Hukum Lingkungan’. Sampai titik ini, aku merasa semakin terganggu. Bagaimana bisa aku cuma menemukan masalah dan mendiskusikannya dalam tataran hukum, tapi nihil dalam tindakan? Aku pun jadi banyak bertanya pada seorang kawan yang bekerja di Greenpeace. Belajar darinya, secara bertahap aku mulai mengurangi ketergantungan diri akan penggunaan plastik sekali pakai.
Semakin kuselami, semakin kusukai pembahasan soal lingkungan. Aku menemukan bahwa negeri ini diperkirakan menghasilkan sampah pembalut sebanyak 26 ton per harinya. Padahal butuh waktu 500-800 tahun untuk plastik dalam pembalut terdegradasi. Parahnya, aku adalah salah satu pelaku yang menghasilkan sampah itu. Beruntungnya, semesta mendukungku untuk berubah ke arah yang lebih baik. Banyak webinar bertemakan lingkungan yang bertebaran akibat keharusan tetap tinggal di rumah. Dari situ, masalah soal sampah pembalut menjadi terpecahkan.
Tidak bisa dipungkiri, solusinya tidak semudah itu untuk langsung diterapkan. Muncul keraguan untuk membeli produk alternatifnya karena informasi yang simpang siur. Beberapa waktu kemudian, aku menemukan sumber informasi yang tepat. Ia adalah seorang mentor dalam komunitas yang aku ikuti ketika itu. Ku ketahui dari sosial medianya bahwa dia sudah beralih ke menstrual cup. Dia pun begitu terbuka saat ku tanya seputar upaya menstruasi yang ramah lingkungan.
Merasa yakin, saat itulah kuputuskan membeli produknya secara daring di Sustaination. Tidak sepenuhnya ramah untuk lingkungan karena pastinya ada jejak karbon dari proses produksi hingga bisa diantar di depan pintu indekos. Tapi setidaknya, aku berhasil mengurangi peluang terbuangnya sampah pembalut sekali pakai ke TPA dalam 10 tahun ke depan. Belum lagi, pembelian di Sustaination juga bebas bubble wrap dan selotip plastik. Hati terasa senang dan nyaman karenanya.
Sayangnya, tidak sampai hitungan tahun, aku berhenti menggunakan menstrual cup karena kurang nyaman. Alih-alih kembali pakai pembalut sekali pakai, aku memutuskan memakai pembalut kain guna ulang dan itu bertahan sampai sekarang. Walau tidak seawet menstrual cup, pembalut kain juga bisa mengurangi peluang terbuangnya sampah pembalut sekali pakai ke TPA paling tidak untuk 5 tahun ke depan. Dibelinyapun di tempat yang sama karena tokonya masih dekat denganku yang tinggal di Jakarta Selatan.
Sepulangnya ke Bali dan tinggal di Denpasar tentunya aku tidak ingin menanggalkan gaya hidup ramah lingkungan yang sudah kuupayakan selama di perantauan kemarin. Ada dua tempat yang sering aku kunjungi untuk mendukung ini: Serba Curah dan Bali Buda. Tidak hanya kebutuhan sehari-hari yang bisa dibeli secara curah, ada pula kebutuhan menstruasi ramah lingkungannya. Mulai dari menstrual cup, pembalut kain, celana dalam menstruasi sampai dengan sabun pembersihnya tersedia di sana.
Pengalaman berbelanja di kedua tempat tersebut juga selalu menyenangkan. Tidak perlu takut jika belum paham soal produknya, ada staf yang terbuka untuk membantu. Suasana sekitarnya nyaman. Harganya juga sama seperti yang di pasaran. Hal lain yang sederhana, namun turut membuat hati senang, adalah bebasnya biaya parkir.
Kesenangan tersebut pun aku bagikan ke teman-teman kantor. Beberapa di antaranya bahkan ikut bersamaku berkunjung ke tokonya hingga ada juga yang mau mencoba beralih dan membeli pembalut kain. Ada kesenangan tersendiri ketika aku bisa menularkan aksi baik untuk lingkungan kepada orang lain pada masa kini seperti senangnya aku menerima aksi baik untuk lingkungan dari orang lain pada masa lalu.
Penulis: Ni Komang Ayu Leona Wirawan