Kata Mereka Memberikan Plastik itu Bentuk Kesopanan

Pada 2020, aku sempat pulang kampung ke daerah Jawa Tengah. Salah satu yang membuatku senang pulang kampung adalah kesempatan mecicipi semua masakan dan jajanan asli daerah setempat. Adikku dengan penuh semangat mengantarku ke lokasi mereka berjualan. Kadang kami makan di tempat, kadang dibungkus. Beberapa masih dibungkus daun pisang, daun jati, dan kalau ada sedikit kuahnya seperti tahu campur terpaksa dibungkus dengan ‘kertas minyak’.

Di waktu yang sama, beberapa penjual jajanan lewat di depan rumah. Aku hanya perlu berteriak memanggilnya untuk berbelanja. Salah satu jajanan favoritku adalah bubur beras yang dijajakan oleh ibu paruh baya yang berjualan berjalan keliling kampung. Bubur beras panas akan mengeluarkan aroma yang khas saat bersentuhan dengan daun pisang. Menambah cita rasa makanan tradisional. Beliau juga hanya merobek sekitar 3cm daun pisang yang kemudian dilipat jadi dua sebagai sendok. Penjepit daun agar berbentuk menyeruapi mangkoknya terbuat dari bambu. Kemasan seperti ini membuat aku sangat senang karena estetik, tradisional, dan pastinya ramah lingkungan.

Selain menikmati kuliner, salah satu kegiatan yang ada di agendaku saat pulang kampung adalah memasak bersama ibuku. Diawali pagi-pagi sekali pergi ke pasar. Pasar pagi buka hanya sampai pukul 8 pagi, setelah itu pasar sepi. Tak lupa tas belanja yang kami bawa sendiri. Kami membeli satu persatu bahan untuk memasak. Mulai dari daging, ikan, sayur dan buah. Pedagang daging dan ikan sudah otomatis membungkusnya dengan plastik, tapi kami menolak saat penjual hendak memberikan plastik lagi di luarnya. Kebiasaan semacam mendobel plastik takut jika ada cairan yang keluar dari plastik pertama. Padahal menurutku jika plastik pertama tidak bocor maka tidak akan ada cairan keluar.

Perjalanan kami lanjutkan ke penjual buah dan sayur. Aku menolak plastik dari penjual bayam, karena bayamnya sudah diikat dengan bambu tipis jadi tidak akan berantakan. Lalu, kami melanjutkan ke penjual buah, kali ini kami menghampiri penjual mangga. Kami membeli dua kilo mangga. Ibuku membayar dan aku mengambil mangga langsung dari timbangan lalu kumasukkan ke tas belanjaan yang dibawa oleh ibuku. Seketika tanganku diraih sang penjual dan direbutnya mangga yang masih ada di tanganku. 

Dia berkata dalam bahasa daerah yang jika diterjemahkan seperti ini “ dikantongi plastik dulu, masa saya jualan gak ngasih plastik, kan gak sopan..” katanya.

Aku kaget mendengarnya karena mereka pikir memberi kantong plastik adalah sebuah bentuk kesopanan. Setelah bernegosiasi, aku berhasil menolak kantong plastik dari penjual mangga karena ibuku membantu menjelaskan bahwa di rumah kami sudah banyak kantong plastik.

Pada hari yang lain, aku dan adikku pergi ke sebuah supermarket untuk membeli satu barang yaitu susu diabetes untuk ayahku. Hanya satu jenis. Sambil menyebutkan total yang harus kami bayar tangan kasir otomatis memasukan kotak susu itu kedalam kantong plastik. Aku menolak dengan berkata, “gak usah mbak”. Perkataan itu membuat kasir itu memandangku bingung. Lalu kasir itu berkata, “gak sopan ah masa ga diplastikin”. Balasan kasir tersebut kujawab dengan mengatakan kalau aku akan memasukkan susu tersebut ke dalam jok. Sebelum berlanjut, aku segera mengambil susu tersebut sambil mengambil kembalianku. 

Beberapa kejadian di atas membuatku berfikir panjang. Adakah hubungan antara plastik dan kesopanan. Aku berusaha menempatkan diriku sebagai penjual di daerah itu. Aku mempertanyakan mengapa hampir semua penjual memberi kantong plastik dengan alasan merasa kurang sopan jika tidak memberikan kantong plastik. Tradisi yang merugikan bumi ini harus dihilangkan. Kurasa di sinilah peran pemerintah untuk lebih lagi mensosialisasi bebas kantong plastik, utamanya di pusat perbelanjaan diperlukan.

Penulis: Titi Wolcott
Penyunting: Sri Junantari
Profil Penulis: Pekerja online dan seorang istri tanpa anak yang berusaha mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dari diri sendiri.

PlastikDetox Coordinator