Pagi yang sunyi, secangkir kopi panas di tangan, dan aroma khasnya perlahan memenuhi ruangan. Tak heran, kopi telah menjadi salah satu minuman paling digemari di dunia, melintasi batas usia, budaya, dan waktu. Rahasianya? Kandungan kafein yang menjadi senjata andalan banyak orang untuk memulai hari, mengusir kantuk, dan meningkatkan fokus. Kopi bukan sekadar minuman bagi banyak orang, kopi adalah ritual, penyemangat, dan teman di setiap suasana.
Terkhususnya bagi para pecinta kopi saat ini perlu tahu bahwa berita terkait perubahan iklim menimbulkan ancaman signifikan terhadap produksi kopi secara global. Seiring meningkatnya suhu global dan pola cuaca menjadi semakin tidak menentu. Perubahan iklim, seperti pola hujan yang tak menentu, kenaikan suhu, kekeringan, dan badai, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman kopi. Selain itu, meningkatnya serangan hama dan penyakit, serta praktik pertanian yang kurang optimal semakin memperburuk keberlanjutan produksi kopi di tengah tantangan lingkungan tersebut.
Anderson Kara mengatakan bahwa tanaman kopi, khususnya Arabika, membutuhkan kondisi khusus agar dapat tumbuh subur. Arabika tumbuh paling baik pada suhu sedang, berkisar antara 18°C hingga 22°C, sedangkan Robusta tumbuh subur pada suhu antara 22 dan 28℃. Namun, meningkatnya suhu global mendorong kondisi ideal ini melampaui ketinggian dan garis lintang tradisional tempat kopi selama ini ditanam.
Kopi robusta dikenal sebagai pilihan utama untuk kebutuhan kopi komersial. Jenis kopi ini sering diolah menjadi kopi instan atau digunakan dalam minuman campuran seperti kopi susu, yang sangat populer di kalangan konsumen Indonesia karena rasanya yang khas dan harganya yang lebih terjangkau. Menurut data dari Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), sekitar 80% produksi kopi di Indonesia berasal dari jenis robusta. Sementara itu, sisanya, sekitar 20%, adalah kopi arabika, yang meskipun jumlahnya lebih sedikit, memiliki keunikan tersendiri.
Berdasarkan laporan BBC News Indonesia, Kopi arabika mengandung kafein yang lebih rendah dibandingkan robusta, yakni hanya sekitar 1,2-1,5%. Namun, arabika unggul dalam hal cita rasa, menawarkan pengalaman rasa yang lebih kompleks dan beragam. Mulai dari rasa yang asam, tekstur yang lembut, hingga aroma buah-buahan yang khas, arabika menjadi pilihan utama bagi penikmat kopi yang mencari kualitas rasa yang lebih premium. Dengan perbedaan karakteristik ini, robusta dan arabika masing-masing memiliki tempatnya sendiri dalam dunia kopi Indonesia.
Bryce Emma melaporkan jika kopi arabika adalah varietas kopi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Diperkirakan, hingga tahun 2050, area yang cocok untuk budidaya arabika akan menyusut drastis, bahkan hingga 80%. Sensitivitas arabika terhadap suhu yang lebih tinggi dan perubahan pola cuaca membuatnya semakin sulit untuk bertahan di tengah kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat.
Sebaliknya, kopi robusta, yang saat ini menyumbang porsi signifikan dari konsumsi kopi global, dianggap sebagai alternatif yang lebih adaptif. Dengan kemampuan bertahan di suhu yang lebih tinggi dan tingkat kelembapan yang lebih bervariasi, robusta menunjukkan potensi sebagai solusi bagi masa depan produksi kopi. Selain itu, robusta dikenal memiliki hasil panen yang lebih tinggi, menjadikannya pilihan yang lebih praktis dan berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim.
Para peneliti kini sedang menguji daya adaptasi Robusta di iklim Florida yang hangat. Meskipun sampel penelitian ini masih terbatas, para peneliti optimis bahwa keragaman genetik Robusta dapat menghasilkan varietas kopi yang lebih tahan terhadap iklim untuk menjamin ketersediaan kopi di masa depan.
https://greenly.earth/en-gb/blog/ecology-news/is-coffee-threatened-by-climate-change
https://www.mongabay.co.id/2020/12/12/perubahan-iklim-ancam-masa-depan-kopi-indonesia/
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9e5jnmn0edo
Penulis: Secelia Simanjuntak